A.
Definisi
Ruqyah dan Kedudukannya Dalam Syari’at
Arti ruqyah secara bahasa menurut Imam Majduddin Muhammad
bin Ya’qub Al Fairuz Abady dalam Al Qamusul Muhith hal.
1161, yaitu :
اَلرُّقْيَةُ بِاالضَّمِّ ر اَلْعُوْذَةُ
Ar ruqyatu dengan ro didhammah artinya memohon
perlindungan. Ruqyah berasal
dari kata :
رَقَى يَرقِيْ رُقْيًا وَرُقِيًّا وَرُقْيَةً نَفَثَ
فِيْ عُوْذَ تِهِ
yang artinya meniup dalam memohon
perlindungan. Kemudian Imam Ibnu Hajar
dalam Fathul Bari (10/195) mengartikan ruqyah adalah permohonan
perlindungan, atau ayat-ayat, dzikir-dzikir dan doa-doa yang dibacakan kepada
orang yang sakit. Syaikh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ul Fatawa 10/195 : “Ruqyah
artinya memohon perlindungan. Ruqyah termasuk bagian dari doa.”
Sedangkan
arti ruqyah secara istilah menurut Syaikh Sa’ad Muhammad Shadiq dalam Shiro
Bainal Haq wal Bathil hal. 147 berkata :“ruqyah pada hakekatnya
adalah berdoa dan tawassul untuk memohon kesembuhan kepada Allah bagi orang yang
sakit dan hilangnya gangguan dari badannya.”
Jadi
secara sederhana pengertian ruqyah adalah bacaan/do’a yang disyari’atkan
(dari Alqur’an, do’a Rasulullah atau do’a kita sendiri) yang tatacaranya sesuai dengan yang diajarkan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk meminta kesembuhan dari
penyakit, perlindungan ganguan Jin/sihir, dan meminta hilangnya gangguan-ganguan
yang disebabkan jin/sihir dari badannya.
Ruqyah
dinamakan juga dengan ‘Azaa’im (bentuk plural dari ‘Aziimah,
yang dikenal dalam bahasa Indonesia dengan azimat-azimat). Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin-
rahimahullahu- menjelaskan:” Ruqyah dinamakan (juga) dengan ‘Azaa’im
karena orang yang membacanya meyakininya, serta lahir pada dirinya
kekuatan penolakan (terhadap penyakit/bahaya) ketika membacanya” (Risalah
Fi Ahkami Ar Ruqaa’ Wa At Tama’im karya Abu Mu’adz Muhammad bin
Ibrahim hal. 13).
Hukum
menggunakan ruqyah untuk mengobati penyakit adalah mubah (boleh).
Bahkan syariat menganjurkannya. Berdasarkan nash-nash tekstual dalam Al
Qur’an dan As-Sunnah. Dan tidak
diragukan lagi, bahwa pengobatan dengan Al Qur’an Al Karim dan dengan nash-nash
ruqyah yang tsabit (tetap) dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
adalah terapi pengobatan yang sangat sempurna dan bermanfaat.
Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وننَزِّلُ مِنَ القرآنِ مَا هُوَ شفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِّـلْمُؤْمِنِيْنَ، وَلاَ يَزيْدُ الظالِمِيْنَ إلاَّ خَساراً
Artinya, “Dan Kami turunkan dari Al Quran
suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al
Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian”.
(QS. Al-Isro :82).
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
Artinya,
“Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta
rahmat bagi orang-orang yang beriman”. (QS. Yunus :57).
ö
وَلَوْ جَعَلْنَاهُ قُرْآنًا أَعْجَمِيًّا لَقَالُوا لَوْلَا فُصِّلَتْ آيَاتُهُ ۖأَأَعْجَمِيٌّ وَعَرَبِيٌّ ۗقُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ ۖوَالَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ فِي آذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى ۚأُولَٰئِكَ يُنَادَوْنَ مِنْ مَكَانٍ بَعِيدٍ
وَلَوْ جَعَلْنَاهُ قُرْآنًا أَعْجَمِيًّا لَقَالُوا لَوْلَا فُصِّلَتْ آيَاتُهُ ۖأَأَعْجَمِيٌّ وَعَرَبِيٌّ ۗقُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ ۖوَالَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ فِي آذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى ۚأُولَٰئِكَ يُنَادَوْنَ مِنْ مَكَانٍ بَعِيدٍ
Artinya, “…Dan jikalau Kami jadikan Al Qur'an itu suatu bacaan dalam selain bahasa Arab tentulah mereka mengatakan: "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?". Apakah (patut Al Qur'an) dalam bahasa asing, sedang (rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: "Al Qur'an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Qur'an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh.”. (QS. Fushilat 44).
Al
Qur’an merupakan obat yang sempurna dan penawar bagi seluruh penyakit hati dan
jasad, serta penyakit-penyakit dunia dan akhirat. Namun tidak semua orang mampu
dan mempunyai kemampuan untuk melakukan penyembuhan dengan Al Qur’an. Hanya
orang yang dalam kehidupan sehari-hari istiqomah mengfungsikan Al-Quranul Karim
yang diimaninya sebagai kitab petunjuk, maka membacanya, mentadabburinya,
mengamalkannya, mendakwahkannya, dan memperjuangkan tegaknya hukum Al quran
serta pengobatan penyembuhan dilakukan secara baik sesuai dengan As-Sunnah,
didasari dengan kepercayaan dan keimanan, penerimaan yang penuh, keyakinan yang
pasti, serta terpenuhi syarat-syaratnya, maka tidak ada satu penyakit pun yang
mampu melawannya selama-lamanya. Bagaimana mungkin penyakit-penyakit itu akan
menentang dan melawan firman-firman Rabb Pemelihara langit dan bumi,
yang jika firman-firman itu turun ke atas gunung, maka ia akan
memporak-porandakan gunung tersebut! Atau jika turun ke bumi, niscaya ia akan menghancurkannya!. Oleh karena itu, tidak ada satu penyakit hati dan juga
penyakit fisik pun melainkan di dalam Al Qur’an terdapat jalan penyembuhannya,
penyebabnya, serta pencegah terhadapnya bagi orangorang yang dikaruniai
pemahaman oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap kitabNya.
Imam Ibnul Qayyim–rahimahullah berkata: ”siapa yang tidak
dapat disembuhkan oleh Al Qur’an, berarti Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak
memberikan kesembuhan padanya. Dan siapa yang tidak dicukupkan oleh Al Qur’an,
maka Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberikan kecukupan padanya”.
Zaadul Ma’aad (4/352).
Dan dalil-dalil dalam tatanan sunnah juga tidak sedikit
yang menandaskan perintah kepada umat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam untuk mengobati penyakit dengan metode ruqyah ini bahkan
beliau melakukannya untuk diri beliau sendiri, keluarga atau untuk para
sahabatnya.
Diantaranya hadits dari ‘Aisyah -radhiallahu ‘anha-,
ia berkata :
أَمَرَنِيْ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَسْتَرْقِيَ مِنَ الْعَیْنِ
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
memerintahkanku untuk meruqyah dari ‘ain (pengaruh mata jahat)” (HR.Bukhari 7/23 dan Muslim dengan Syarah An Nawawi 4/184).
Dari Jabir bin Abdillah -radhiallahu‘anhu-, ia
berkata: ”Seeokor kalajengking pernah menyegat salah seorang diantara
kami, saat itu kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam. Kemudian seorang laki-laki berkata: ”Wahai
Rasulullah, apakah aku (boleh) meruqyahnya?” Lantas Beliau pun
bersabda:
مَنِ
اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ یَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْیَفْعَلْ
“Siapa saja diantara kalian mampu memberikan manfaat
kepada saudaranya, maka lakukanlah” (H.R Muslim 4/1726 no. 2199).
Dari ‘Auf bin Malik Al Asyja’i -radhiallahu ‘anhu-,
ia berkata: ”Kami dahulu menggunakan ruqyah pada masa jahiliyah, lalu
kami tanyakan hal tersebut kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,
”Wahai Rasulullah, bagaimana menurut pendapatmu tentang ruqyah itu?”
Beliau menjawab:
أِعْرِضُوا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَالَمْ يَكُنْ فِيْهِ
شِرْكٌ
"Perlihatkan
mantera (ruqyah) kalian kepadaku, ruqyah itu tidak mengapa jika tidak
mengandung syirik". (H.R
Muslim (4/1727 no. 2200-Mausu'ah As-Sunani Wal Mubtadi'at cet. Maktabah
at-taufiqiyah 137).
Dari
Aisyah -radhiallahu‘anha- berkata : “Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam pernah peniup untuk dirinya dalam keadaan sakit menjelang wafatnya
dengan bacaan Al Mu’awwidzat, (surat Al Ikhlash dan Al Mu’awwidzatain: Al-Falaq
dan An-Naas). Maka ketika beliau kritis, akulah yang meniupkan bacaan itu dan
aku usapkan kedua tangannya ke tubuhnya karena keberkahan tangannya.” (H.R Al Bukhari (5/2165 no. 5403).
Dari
‘Aisyah -radhiallahu‘anha-: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam biasa
menengok istrinya ketika sakit. Beliau mengusap dengan tangan kanannya dan
berdo’a :
اَللّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ
أَذْهِبِ اْلبَأْسَ ، اِشْفِ وَ أَنْتَ الشَّا فِيْ لاَ شِفَاءَ إِلاَّشِفَاؤُكَ شِفَاءً لاَ
يُغَادِرُسَقَمًا
“Ya Allah
pemelihara manusia hilangkanlah penyakit ini, sembuhkanlah, Engkaulah Yang Maha
Penyembuh. Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu, kesembuhan tanpa
meninggalkan rasa sakit.” (HR.Bukhari
5743 dan Muslim 2191 Riyadhussalihin hal.436 Insan Kamil).
B.
Ciri-Ciri
Ruqyah Syar’iyyah
Dalam prakteknya jika
ada orang yang mengaku bahwa pengobatannya adalah ruqyah tapi
dalam praktiknya dia tidak membaca sesuatu, berarti orang tersebut tidak paham
sama sekali akan makna ruqyah. Karena
bacaan adalah termasuk unsur pokok dalam melakukan praktik ruqyah sesuai
dengan definisinya. Bukan ruqyah kalau dalam praktiknya dia tidak
membaca sesuatu, walaupun dalam kenyataannya jin yang ada dalam tubuh seseorang
keluar atau penyakit yang dideritanya sembuh. Dan bacaan ini bukan bacaan
dengan hati atau tidak bersuara sama sekali. Seorang pe-ruqyah harus
membaca bacaan itu dengan bersuara jelas sehingga orang-orang yang berada
disekitarnya mendengar materi bacaannya lalu meriwayatkan kepada yang lain
bukan komat-kamit tidak jelas.
Ada ciri-ciri khusus dalam prakteknya yang bisa
dikategorikan sebagai ruqyah yang sesuai syari’at (ruqyah syar’iyyah.
Kalau ciri itu tidak terpenuhi, maka ruqyah yang dipraktekkan itu bisa
dikategorikan sebagai ruqyah syirkiyyah atau ruqyah yang menyimpang dari
syari’at Islam.
Al Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullahu- dalam Fathul Bari (10/195) menjelaskan : ”Para ulama telah berijma’
(bersepakat) akan bolehnya menggunakan ruqyah (dalam pengobatan) dengan
terpenuhinya tiga syarat:
1.
Ruqyah tersebut dengan menggunakan Kalamullah (ayat-ayat Al Qur’an), atau
nama-nama dan sifat Allah ‘Azza wa Jalla dan Do’a-do’a As-Sunnah
Bacaan yang dibaca oleh seorang peruqyah dengan ruqyah
syar’iyyah adalah ayat-ayat Allah yang dibaca sesuai dengan kaidah bacaannya
(dibaca secara Tartil) atau ilmu tajwid. Karena kita tidak boleh membaca
ayat-ayat Al-Qur’an kecuali sesuai dengan kaidah tajwidnya. Apabila ada seorang peruqyah membaca ayat-ayat
Al-quran dengan cepat seperti seorang dukun membaca mantra, maka rusaklah makna
dari ayat tersebut dan ia tidak akan dapat pahala, justru ia berdosa. Dan Islam
juga melarang seorang peruqyah untuk membaca al-Qur-an dengan memenggal-menggal
ayat yang bisa merubah maksud dan makna ayat tersebut. Di samping ayat Al-Qur-an,
seorang peruqyah juga bisa menjadikan do’a-do’a Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam sebagai materi bacaannya. Karena hal itu telah
dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan juga
dipraktikkan oleh shahabat-shahabat serta para ulama’. Para ulama’ hadits telah
membukukan do’a-do’a tersebut dalam kitab-kitab hadits yang mereka susun. Dan
para ulama’ lain juga telah memasukkannya sebagai bacaan ruqyah dalam
kitab-kitab mereka saat mengupas tentang materi ruqyah syar’iyyah.
Imam Nawawi juga telah berkata, “Ruqyah
dengan ayat-ayat al-Qur-an dan dengan do’a-do’a yang telah diajarkan Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah suatu hal yang tidak
terlarang. Bahkan itu adalah perbuatan yang disunnahkan. Telah dikabarkan para
ulama’ bahwa mereka telah bersepakat (ijma’) bahwa ruqyah dibolehkan apabila
bacaannya terdiri dari ayat-ayat al-Quran atau do’a-do’a yang diajarkan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.” (Shahih Muslim bi Syarhin
Nawawi : 14/341).
2.
Ruqyah tersebut harus diucapkan dengan bahasa Arab atau (boleh dengan -Pen) bahasa selain Arab yang dibaca
dengan jelas dan difahami maknanya.
Para ulama’ sepakat bahwa bacaan ruqyah harus
terdiri dari bahasa Arab, sebagai bahasa Al-Quran dan As-sunnah. Namun sebagian
mereka berbeda pendapat jika bacaan ruqyah itu bukan bahasa Arab. Tapi yang
perlu dicatat dan digaris bawahi adalah tidak setiap bacaan yang berbahasa Arab
itu benar maknanya atau tidak mengandung kesyirikan. Karena banyak masyarakat
Indonesia, khususnya umat Islam yang mempunyai persepsi bahwa yang berbahasa
Arab itu pasti benar dan dilegalkan oleh Islam. Persepsi seperti itu tidak benar
adanya, karena banyak juga mantra-mantra kesyirikan yang berbahasa Arab, karena
pemilik atau pembuatnya orang Arab atau dia bisa berbahasa Arab.
Imam Nawawi menukil perkataan Syekh al-Maziri, “Semua
ruqyah itu boleh apabila bacaannya terdiri dari kalam Allah atau Sunnah Rasul.
Dan ruqyah itu terlarang apabila terdiri dari bahasa non Arab atau dengan
bahasa yang tidak dipahami maknanya, karena dikhawatirkan ada kekufuran di
dalamnya.” (Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi : 13/341).
3.
Harus diyakini, bahwa yang memberikan pengaruh dan
kesembuhan bukanlah ruqyah dengan sendirinya, tetapi yang memberi
pengaruh adalah (izin dan) kekuasan Allah Azza wa Jalla.
Karena hakikatnya yang bisa menyembuhkan
penyakit, yang kuasa untuk menolak bahaya atau bencana, atau yang mampu untuk
melindungi diri dari gangguan syetan hanyalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengabadikan keyakinan Nabi Ibrahim dalam
al-Quran yang artinya,
“Dan apabila aku sakit, Dialah (Allah) yang
menyembuh-kanku.” (QS.
Asy-Syu’aro’ : 80).
Di ayat lain, Allah Subhanahu Wa Ta’ala
berfirman yang artinya, Dan jika
Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, Maka tidak ada yang
menghilangkannya melainkan Dia sendiri. dan jika Dia mendatangkan kebaikan
kepadamu, Maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu. (QS.al-An’am : 17).
Syaikh
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz - rahimahullahu- menerangkan: ”Tentang ruqyah,
hadits-hadits shahih telah menunjukkan bahwa selama ia berisi ayat-ayat
Al Qur’an dan doa-doa yang dibolehkan syariat, maka hal itu tidak mengapa, jika
ruqyah tersebut dibaca dengan
lisan yang jelas dan diketahui maknanya, serta orang yang diruqyah tidak
bergantung pada ruqyah tersebut (yang akan menjadi syirik-pen), bahkan
ia harus meyakini bahwa ruqyah hanya salah satu sebab (diperolehnya
kesembuhan). Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَالَمْ يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ
“ruqyah itu tidak mengapa jika tidak mengandung syirik”
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin -rahimahullah-
menjelaskan pula: ”Ruqyah, bagi orang yang melakukannya (untuk orang
lain) hukumnya adalah sunnah, karena tindakan tersebut merupakan wujud ihsan
(perbuatan baik) bagi orang yang diruqyah. Sedangkan bagi orang yang
(meminta) diruqyah, maka hukumnya boleh. Namun yang lebih utama adalah
tidak meminta orang lain untuk meruqyah dirinya,
berdasarkan hadits tentang orang-orang yang
masuk surga tanpa hisab, diantara sifat mereka
adalah tidak meminta orang lain untuk meruqyahnya”. Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wasallam bersabda :
یَدْخُلُ
الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِيْ سَبْعُوْنَ أَلْفًا بِغَیْرِ حِسَابٍ, قَالُوْا: وَمَنْ هُمْ یَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ: هُمُ الَّذِیْنَ لاَ یَكْتَوُوْنَ وَلاَ یَسْتَرْقُوْنَ وَعَلَى رَبِّهِمْ یَتَوَكَّلُوْنَ.
“Ada tujuh puluh ribu orang dari umatku yang akan masuk
surga tanpa hisab” Para sahabat bertanya:”Siapakah mereka, wahai Rasulullah?
Beliau menjawab:”Mereka adalah orang-orang yang tidak berobat dengan kay
(pengobatan dengan besi panas), tidak minta diruqyah, dan hanya kepada Rabbnya
mereka bertawakal”. H.R Muslim
(1/198 no.217 ).
Selanjutnya
yang penting diperhatikan adalah tatacara ruqyah harus sesuai dengan syari’at, bahwa
jika ada orang yang menamakan metode pengobatannya dengan nama terapi ruqyah
syar’iyyah walaupun menggunakan bacaan Al-Quran dan doa-doa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam namun menambahi
metodenya dengan cara-cara yang bid’ah dan penuh kesyirikan seperti menggunakan
jurus-jurus pernapasan tenaga dalam seolah-olah mengalirkan sesuatu kekuatan,
memakai ilmu-ilmu metafisik, atau menggunakan mantra-mantra aji kesaktian,
menambah-nambah tiap potongan ayat Al-qur-an dengan mantra-mantra (spt. qulhuwa
ghani, qhulhu sungsang), atau memberikan azimat-azimat yang harus di gantung
atau disimpan yang diyakini bisa membawa perlindungan maka tetaplah ini bukan
ruqyah syar’iyyah.
Selain
itu jika ada orang yang mengaku mengobati dengan ruqyah syar’iyyah tetapi ia
dengan sengaja dan tanpa berdosa sedikit pun memegang atau menyentuh bagian
tubuh yang bukan muhrimnya secara langsung hingga banyak bersentuhan kulit pada
saat prosesi pengobatan maka sungguh apa yang dia lakukan sangat berdosa
dihadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Maka bagaimana ruqyah yang dia katakan sebagai ruqyah syar’iyyah
sedangkan larangan syari’at untuk bersentuhan kulit mereka abaikan.
0 komentar:
Posting Komentar